Kalam;
Fenomena Jakowi yang blusukan ke masyarakat feriferal, masyarakat kumuh yang tidak tersentuh oleh pembangunan kemanusiaan, sangat menggembirakan hati 'wong cilik' karena selama ini 'kekuasaan' yang kita kenal adalah 'pangreh praja' pejabat yang ingin dilayani mereka adalah sosok pejabat yang membuat jarak dengan rakyat, berjiwa 'feodal' dan sangat 'aristokrat' dan sinis terhadap 'wong cilik'.
Terobosan Jakowi yang 'blusuk' ke daerah-daerah kumuh adalah model kinerja baru yang berfokus kepada pengenalan lapangan. "Ia naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk riol, menyapa rakyat ; malah melantik sang walikota di tengah gubug kumuh".Ia melayani masyarakat dengan ramah, sangat familiar, dan menyentuh rasa.Ia mentransformasikan nilai-nilai kepamongan yang 'men-wong-ke' sesama, Ia melayani dan berbagi rasa, sekaligus mendengarkan aspirasi mereka secara genuine.
Blusukan, kosa kata baru semoga menjadi kunci perubahan gaya pelayanan masyarakat yang tidak berjarak. Semoga bisa ditiru semua pejabat di negeri ini terutama bagi SBY yang hanya sibuk dengan pencitraan. Tulisan Wijayanto Samirin, Deputi Rektor Universitas Paramadina yang dimuat di harian Kompas tanggal 12 januari 2013, sangat menarik untuk dipahami, selamat membaca.(a.m.a)
***
Beberapa bulan terakhir, kata "blusukan" tiba-tiba menjadi sangat popular di telinga kita. Harus diakui peran Jakowi sebagai media darling sangat kental dalam hal ini.
Kalau kita goegle kata tersebut dalam 0,19 detik muncul 1,37 link. Kata "blusukan" seolah naik kasta, dari sekadar bahasa informal dikampung-kampung jawa menjadi istilah penting kebijakan public.
Dalam bahasa jawa "keblusuk" berarti 'tersesat'. Maka "blusukan" berarti 'sengaja menyesatkan diri untuk mengetahui sesatu'. Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika Presiden SBY melakukan hal serupa beberapa hari yang lalu. Meskipun diberi istilah turun kebawah, atau turba, esensinya tetap sama bertemu langsung dengan rakyat dan melihat keadaan di lapangan.
Dalam konteks kebijakan public, pertemuan tersebut sangatlah penting.Ia berperan sebagai wahana bagi pemimpin untuk menangkap aspirasi rakyat secara langsung. Ia bisa mengurangi panjang rantai birokrasi sebagai penyebab agency problem saat anak buah sebagai agent di lapangan berupaya mengambil keuntungan untuk dirinya ketika pimpinan tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Agency problem, dalam keseharian tidak menampakkan diri dalam bentuk manfaat financial, tetapi bisa juga berwujud burreucracy inertia atau keengganan birokrasi untuk melakukan tugasnya, birokrasi yang malas dan santai.
Dalam konteks good governance, turba atau blusukan juga mengurangi peran para policy entrepreneur, yaitu mereka yang hidup seperti benalu dalam pohon bernama proses pengambilan kebijakan. Entrepreneur jenis ini berperan sebagai penghubung antar kelompok kepentingan dengan para pengambil keputusan. Dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, mereka berupaya mengegolkan berbagai kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.
Awal dan Akhir
Meskipun penting blusukan hanyalah puncak sebuag gunung es. Ia merupakan bagian kecil di awal dari proses mendapatkan inspirasi untuk menyusun rencana kerja dan di akhir sebagai ajang untuk memantau hasil kinerja birokrasi di lapangan. Namun, permasalahan pemerintah lebih dari itu.
Dalam siklus perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan (planning, organizing, actuating,controlling), blusukan hanya merupakan bagian sangat awal dari proses perencanaan dan sangat akhir dari pengontrolan. Ia menjadi masukan awal untuk menyusun rencana sekaligus bagian akhir untuk melihat hasil di lapangan.
Dalam konteks ini, masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Dari penyusunan anggaran, pelaksanaan di lapangan, hingga proses pemantauan memerlukan peran para elite, baik itu tokoh partai politik, birokrasi, maupun kalangan bisnis. Dialog dengan para elite tersebut perlu dibangun. Dalam konteks ini, selain melakukan blusukan tipe satu, (blusukan ke masyarakat), pemimpin juga harus melakukan blusukan tipe dua, yaitu blusukan tipe dua, yaitu blusukan kepada para elite untuk mendapatkan dukungan.
Di Amerika Serikat, tugas utama Presiden Obama adalah menelpon para politisi agar gagasannya mendapat dukungan. Misalnya untuk memuluskan kebijakan terkait debt ceiling , fiscal cliff, dan Obamacare, dia secara aktif melobi para lawan politiknya dengan menelpon para anggota kongres satu-persatu.
Di Indonesia, apa yang dilakukan Jusuf Kalla (JK) perlu menjadi catatan penting. Dari informasi yang saya terima, JK tidak hanya sangat aktif blusukan di lapangan, tetapi juga dikalangan para elite.
Dalam satu kesempatan, JK pernah menyatakan dukungan jutaan rakyat diperlukam untuk memenangi pemilu dan menjadi pemimpin, tetapi untuk menjalankam roda pemerintahan denganefektif diperlukan dukungan sekitar 500 elite saja. Maka JK pun memiliki nomor kontak para elite tersebut dan secara rutin blusukan melalui pembicaraan telpon dan SMS, terkadang dilalanjutkan dengan sarapan pagi.
Dampaknya, berbagai permasalahan besar seperti perdamaian di Aceh, Ambon dan Poso, juga harga kenaikan BBM dan konversi minyak tanah ke Elfiji bisa diselesaikan tanpa keributan.
Dalam komteks ini, blusukan tipe satu yang dilakukan pak SBY atau pun pak Jakowi perlu dilanjutkan dengan blusukan tipe dua. Sayangnya, hal tersebut belum dilaksanakan optimal sehingga berbagai ide bagus blusukan belum tentu masuk rencana kerja pemerintah.
Manfaat Besar
Manfaat blusukan sebenarnya tidak kecil, tetapi cukup banyak pihak yang buru-buru mencap blusukan sebagai upaya pencitraan. Mungkin sebagian besar masyarakat sudah jenuh dengan ulah para politisi dan calon kepala daerah yang hanya mendekati kointituen mereka menjelang pemilihan. Setelah terpilih rakyat tidak lagi dihampiri.
Fenomena blusukan saat ini sedikit lain karena terjadi saat periode kepemimpinan berlangsung. Apakah aktivitas itu sekadar pencitraan atau benar mewujudkan aspirasi rakyat, bisa di deteksi melalui tiga hal berikut. Pertama, politisi dan pejabat public mempunyai path dependence, tidak mudah bagi mereka mengubah gaya. Apabila pada masa lalu ia tidak dekat dengan rakyat, saat blusukan pasti ada yang aneh. Misalnya bahasa tubuh dan bahasa tuturnya tidak pas dengan situasi. Kalau ini yang terjadi, bisa jadi yang dilakukan Cuma pencitraan.
Yang kedua, ada keterkaitan kuat antara bidang yang menjadi tanggung jawabnya dan aktivitas blusukan yang dilakukan. Apabila tidak terlalu terkait, patut di duga tidak lebih dari membangun citra.
Yang terakhir upaya pencitraan biasanya hanya berhenti di media tanpa relitas nyata. Berbagai janji pejabat saat blusukan, apabila tidak diikuti dengan program yang jelas dan terukur, tentu bisa ditebak arahnya. Manusia tidak hidup di atas tumpukan sensasi tetapi prestasi.
Blusukan menjanjikan hal positip bagi perbaikan pemerintah dan birokrasi. Ia tidak saja menjadi sumber inspirasi para pemimpin sebagai "seniman kebangsaan" yang harus mencari inspirasi dari rakyat dan mewujudkannya untuk rakyat, tetapi juga berpotensi memperbaiki birokrasi kita yang cenderung malas dan tidak memosisikan diri sebagai abdi rakyat.
Sayang, justru blusukan sebagai upaya pencitraan terasa semakin kuat sehingga tidak terlalu banyak tokoh yang memanfaatkannya sebagai aktivitas demi kepentingan public.
Para pemimpin dan pejabat sudah selayaknya tidak ragu lagi meniru langkah Jakowi, JK ataupun SBY. Tidak perlu terlalu khawatir jika upaya tersebut dicurigai sebagai pencitraan karena terdapat perbedaan yang jelas antara pencitraan dan kerja keras untuk memakmurkan rakyat. Waktu akan membuktikan, mereka yang blusukan untuk tujuan pencitraan semata akan keblusuk atau tersesat betulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar