Minggu, 05 Desember 2010

Transparansi keuangan di kabupaten Boalemo

Kalam
            Betapa pentingnya  kejujuran dan kebenaran dalam seluruh kegiatan kehidupan manusia? Tak terkecuali pada sebuah organisasi pemerintahan yang selama ini dikenal dengan jargon Good government, Good governans, prinsip transparansi  dan akuntabilitas. Sejak diberlakukannya Pilkada diseluruh penjuru negeri, pelaksanaan demokrasi langsung, untuk memilih seorang pemimpin di daerah, baik bupati dan walikota, termasuk  gubernur,  sungguh merupakan kontes dan hingar bingar politik  yang sangat meriah dan jor-joran.
            Proses demokratisasi secara prosedural, berjalan sangat bebas, walaupun  seolah-olah tanpa wasit sama sekali. Tapi apakah pelaksanaan demokrasi secara substansial sudah tercapai sesuai harapan? Belum tentu, karena demokrasi adalah untuk kemakmuran, bukan demokrasi untuk demokrasi itu sendiri. Tetapi sayang, yang terjadi adalah sebaliknya, Indonesia dibanggakan oleh para pemimpinnya,  sebagai contoh Negara demokrasi terbesar yang berpenduduk Islam. Tapi dalam realitas sesungguhnya, penuh kecurangan dan manipulasi.  
          Di dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap penyelenggaraan Pilkada telah menghamburkan dana ber milyar rupiah. Untuk tahun 2010 saja sebanyak 244 kabupaten/kota, dengan hitungan setiap kandidat mengeluarkan dana masing-masing 15 M, maka tiga kandidat sebanyak 45 M dikalikan 244 daerah, maka   pengeluaran berkisar 10,9 Triliun. Apabila ditambahkan sebesar 3,5 Triliun sebagai  dana yang disediakan pemerintah, maka total keseluruhannya mencapai 14,4 Triliun. Betapa mahalnya demokrasi, di negeri ini, ditengah dera kemiskinan rakyat kecil, dan banyaknya pengangguran, gaya hidup  borjuis, liberal dan kapitalistik,  telah melanda kehidupan elite politik.  Mereka berpolitik untuk meraih kekuasaan, dan kekuasaan diperoleh  guna menindas rakyat.  
          Kalau seorang Gubernur di-asumsikan  bisa mengeluarkan hitungan 50 milyar rupiah sampai dengan 100 milyar rupiah, maka sudah dapat dipastikan biaya ataupun pengeluaran seorang calon bupati/walikota tentu berkisar antara 10 milyar sampai 20 milyar. Katakan biaya minimal hanya 10 milyar, lalu bagaimana sistem pengembaliannya kelak? bukankah dampak psikologis bagi kandidat yang kalah dan telah menghabiskan uang milyaran menjadi  stress terhadap kemungkinan pengembalian uang utangan  kepada investor. Alhasil,  dari beberapa kasus, menyebabkan gangguan kejiwaan bagi sang calon, dan yang korban tentu keluarga.
            Mahalnya biaya operasional  bagi seorang kandidat, sangat dipengaruhi oleh semakin pragmatisnya  partai politik yang mempunyai  kewenangan  untuk mengusung setiap calon. Dari biaya pendaftaran  dan biaya dukungan per partai, rata-rata bertarif 350 juta sd 500 juta rupiah. Seandainya kita memerlukan tiga partai politik sebagai pendukung kandidat maka diperlukan 1 milyar rupiah yang diserahkan di daerah pemilihan. Untuk administrasi Partai, di Dewan Pimpinan Pusat  pun, bervariasi antara 50 juta sampai 100 juta. Itu masih belum termasuk biaya monitoring Tim pusat yang akan turun untuk meng investigasi sejauh mana dukungan dan pengaruh yang bersangkutan  di tengah  masyarakat.Semakin  kuat kesiapan dana untuk men-service Tim pusat ke daerah maka probabilitas dukungan partai akan semakin meyakinkan terhadap  kandidat tertentu.
            Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan baliho, bendera, spanduk dan brosur. Kemudian sumbangan terhadap kebutuhan masyarakat, bantuan kesehatan, pendirian masjid, koordinasi Tim sukses, sampai kepada uang tempel kepada setiap individu pemilih, keluarga dan kelompok.Kalau harga satu suara Rp 50 ribu, maka kandidat lain berani mengeluarkan sampai dengan RP 250 ribu sampai Rp 300 ribu untuk satu suara.Selama kampanye yang dilaksanakan di lapangan terbuka, berapa dana yang disiapkan untuk mendatangkan para pendukung?Dukungan logistic dan transportasi tentu memakan biaya yang tidak sedikit.Biasanya paket kampanye, termasuk anggarannya  sudah di orderkan  kepada  partai politik  pendukung.
          Seyogianya Badan Pengawas Pemilihan Umum  di dalam mencapai tujuan organisasi meletakkan prinsip-prinsip moral, integritas dan kejujuran serta keadilan sebagai factor utama di dalam proses berjalannya demokrasi. Akan tetapi di dalam kenyatannya kejujuran dan kebenaran tersebut sangat gampang dibelokkan. Sudah menjadi rahasia umum setiap Pilkada yang digelar di negeri ini  secara garis besar berakhir di  Mahkamah Konstitusi karena pelanggaran dari rival yang melakukan kecurangan dan money politic. Sudah menjadi pameo setiap kandidat, mereka  hanya siap menang dan tidak siap untuk kalah. Modus operandi yang dilakukan adalah penggelembungan suara di KPU, penambahan daftar  pemilih , dan pemilih siluman, yang didatangkan dari daerah lainnya. Mereka dibayar dengan mahal, di jemput dan dipulangkan kembali melalui penyiapan transportasi  yang telah disiapkan oleh pemilik modal.
            Sampai kapan Pilkada bebas dari cengkeraman para profiteurs politik dengan merebaknya  ‘money politic’ dan manipulasi  anggaran pembangunan RAPBD, maupun DAU, yang di- sunat oleh para Bupatinya karena kebutuhan mendesak untuk membayar pinjaman kepada para investor lokal? Modus  penyelewengan RAPBD di daerah antara lain, penggelembungan dana pengadaan barang, dan jasa, pembuatan proyek fiktif, alih status prasarana sosial dan  areal hutan, hingga penerimaan gravitasi.  
            Sampai kapan rakyat tersandera oleh ulah oknum dan elite partai yang tidak memikirkan kepentingan rakyat banyak,  guna  mempercepat kesejahteraan rakyat? Sampai kapan negeri ini di porak- porandakan oleh ‘preman-preman’ politik yang hanya mementingkan kepentingan sesaat?Dan sampai kapan kolaborasi antara eksekutif dan legeslatif dibiarkan untuk menjadikan anggaran daerah sebagai ‘banca’an’yang berkepanjangan?.
            Mengapa para pemimpin di negeri ini seolah memperTuhankan uang? mereka gelisah tidak percaya diri, menghadapi masa tua, justru  semakin serakah dengan segala cara yang tidak halal,  mencuri uang rakyat? Ada sesuatu yang salah dalam pendidikan, ‘something wrong!' ; semakin banyak quota haji setiap tahunnya sampai ratusan ribu jama’ah, hampir tidak berpengaruh secara positip  terhadap  keimanan dan ketaqwaan para pemimpin yang seharusnya berbudi luhur dan bermoral. Bukti nyata, lebih 5 Menteri, 20 gubernur, dua ratusan bupati dan walikota, semua terkena pidana korupsi. Cap dunia internasional, Indonesia sebagai Negara terkorup no.1 se -Asia fasifik adalah memalukan, tapi siapa yang peduli?
            Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia (TII), sepanjang 2004 sd` 2010 terdapat 1800 kasus  korupsi  yang terungkap di pengadilan. . . .”Sebanyak 1243 anggota DPRD terlibat korupsi” ungkap Vidya Dyasanti (Rakyat Merdeka 28/11/2010). Korupsi berjamaah, yang diperkenalkan pertama kali oleh 34 anggota DPRD Sumatera barat, ternyata juga ditiru  oleh daerah lain, yang tercatat adalah DPRD  kota Jambi (2004/2005), 35 anggota DPRD, terjerat kasus video bagi-bagi uang.
            Teten Masduki seorang pemerhati korupsi mengatakan, munculnya korupsi di daerah baru, karena adanya pemaksaan lahirnya satu  daerah otonomi, tanpa diimbangi SDM mumpuni, ditambah sifat keserakahan manusia.(205 Daerah otonom baru, terdiri; 7 Propinsi, 164 Kabupaten, dan 34 Kota).
            Judul tulisan di atas adalah sebuah paradox yang diperkenalkan oleh Bupati Boalemo, ditengah hancurnya nilai-nilai kejujuran dan ketertutupan   kepemimpinan yang sangat pragmatis  dan korup, untuk memiskinkan rakyat. Setitik lentera, ternyata nun jauh disana, masih ada pemimpin di daerah yang masih punya nurani dan bicara keterbukaan dan kejujuran. Padahal, tentang kejujuran, apa yang kerap terjadi disekeliling kita? Bukankah sering terjadi di sebuah keluarga; . . .”bilang papa sedang pergi…” itulah perintah seorang ayah kepada anaknya ketika sebuah telepon berdering, dan mecari sang ayah.Hilangnya figure ketauladanan  bagi seorang anak yang sedang mencari identitas diri, luput untuk meraih nilai yang sangat berharga dalam kehidupan. Seorang anak akan meniru kebohongan sang ayah, tanpa merasa bersalah.
            Sikap keterbukaan dalam pendidikan,  adalah satu etos untuk melawan sikap defensive dan pembiaran, dimana semangat untuk menegakkan kejujuran teralienisasi. Dapatkah kita konstatir, bahwa pendidikan kognitif telah gagal membangun ‘watak’ dan karakter bangsa?
              Dengan  harapan bisa menjadi pembanding dalam sukses story Pimpinan daerah lainnya, tulisan dibawah ini saya copy paste dari Kompas 20/11/2010, guna memperkaya ragam tulisan  di Blog saya ini. Salam (a.m.a)
             
Ingin tahu besar pendapatan bupati serta pejabat daerah?datanglah ke kabupaten Boalemo di Propinsi Gorontalo. Disana, di semua institusi pemerintahan terpampang jumlah penghasilan pejabat terkait per bulan, mulai dari bupati, wakil bupati, kepala dinas,  hingga kepala sekolah.
Transparansi anggaran bisa jadi dianggap tabu bagi sebagian kepala  daerah di Tanah Air. Namun, tidak demikian halnya denagn Boalemo. Di daerah yang terletak 80 Kilometer sebelah barat kota Gorontalo ini  transparansi keuangan begitu ‘telanjang’, tidak ada yang ditutup-tutupi.
Kompas yang datang  ke kantor Bupati Boalemo, kamis (18/11), menyaksikan informasi tentang besar gaji, biaya operasional, serta anggaran perjalanan dinas, kesehatan dan pakaian dinas bupati dipasang di depan pintu masuk ruang kerja bupati.
“Ini bukan transparansi, tetapi sudah telanjang”  demikian komentar Zougira dari Gorontalo Corruption Watch, yang hari itu juga berkunjung ke kantor bupati Boalemo.
Bupati Boalemo. Iwan Bokings, tersenyum saat diminta komentarnya tentang penghasilan nya itu. “gaji saya ya, seperti itu”, ujarnya.
Selama empat tahun menjadi bupati, Iwan Bokings menerima gaji Rp. 6.045.300 per-bulan, sedangkan tunjangan operasionalnya Rp. 11 juta –an. Disamping itu, ada juga anggaran APBD, tetapi besarnya ber-variasi tiap tahun.
Tahun ini, menurut Iwan , anggaran APBD untuk bupati Boalemo yang diberi nama dana taktis besarnya RP. 1,360 milyar. “dari jumlah itu, yang terealisasi  hingga agustus Rp 630 juta” paparnya.
Tiga tahun sebelumnya, lanjut Iwan, dana  taktis bupati hanya Rp1,169 milyar. Yang digunakan hanya Rp 951 juta. “Tahun lalu, dana taktis bupati naik menjadi Rp 1, 277 milyar.  Yang disisakan untuk kas daerah  Rp 239 juta” ujar Iwan.
Dana taktis itu,  menurut  Iwan, pemanfaatannya tidak untuk yang muluk-muluk, sesuai dengan kebutuhan bupati saja. Tahun ini, misalnya, digunakan untuk perjalanan dinas, provinsi (Rp 60 juta), perjalanan ke luar daerah (Rp 70 juta), dan perjalanan ke luar negeri  (RP. 37 juta).
Demikian pula tentang anggaran pakaian dinas yang  besarnya 20 juta dan anggaran kesehatan  yang Rp 50 juta. Hingga pengujung tahun ini belum terpakai semua.
Iwan mengaku, anggaran yang agak besar untuk bupati adalah  anggaran belanja rumah tangga. “Besarnya Rp 300 juta tahun ini. Hingga agustus telah terpakai  Rp 200 juta. Antara lain untuk jamuan makan  tamu resmi, bahan bakar dan penggantian suku cadang mobil dinas”, katanya.
Perjalanan darat
            Boalemo  dapat dijangkau dari kota Gorontalo, ibukota Gorontalo, melalui perjalanan darat selama dua jam. Daerah baru ini, merupakan hasil pemekaran wilayah kabupaten Gorontalo tahun 1999. Lima tahun kemudian Ia terpilih kembali  untuk memimpin daerah  tersebut. Tahun 2007, Iwan juga ikut pemilihan  kepala daerah dan lagi-lagi dipercaya  masyarakat untuk tetap bercokol di jabatan tersebut.
            Menurut Iwan, transparansi keuangan tak hanya  diberlakukan di kantornya, tetapi juga  disemua kantor dinas atau kantor pemerintahan Boalemo.”Ini untuk mendukung kinerja pemerintahan yang bersih. Masyarakat dapat mengontrol  pejabat apabila hidup mereka melebihi dari pendapatan pejabat” katanya. (ZAL).
      
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar