Kalam;
Kritik terhadap pemerintah tentang tingkat kemiskinan di Indonesia rasanya sudah sering dibeberkan di setiap mass media,yang menurut data BPS hanya 35 juta rakyat miskin. Padahal beberapa pemuka agama seperti tokoh Muhammadyah Din syamsudin merasa pasti bahwa penduduk miskin di Indonesia sudah sampai pada hitungan 100 juta jiwa. Itu pun kalau hitungan yang mendasari BPS bukan Rp 7000 /hari (0,75 $), akan tetapi seharusnya 2$/hari sesuai dengan standard hidup PBB.
Tulisan berita dari Yan, mengutip pendapat Faisal Basri dalam Hot Economics Rakyat Merdeka, minggu 28 juni 2011,saya copy paste ke dalam Blog saya karena menarik untuk disimak dan dijadikan referensi.(a.m.a).
Pemerintah di tuding gagal menurunkan kemiskinan . Pasalnya, data kemiskinan yang dirilis selama ini di nilai manipulative. Untuk diketahui Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan penduduk miskin Indonesia pada 2010 sekitar 13,33 persen dari total penduduk atau sekitar 31 juta jiwa.
Lembaga pemerintah itu menggunakan patokan garis kemiskinan penduduk berpenghasilan rata-rata sebesar Rp 211.726 per bulan atau Rp 7000/hari atau sekitar 0,75 dollar AS per hari. Padahal 10 tahun silam ukuran garis kemiskinan rata-rata sekitar 1 dollar AS per hari.
Pengamat ekonomi Faisal basri menyayangkan data yang diungkapka BPS selama ini.. .. “ Data (BPS) itu tidak merefleksikan tingkat kemiskinan yang sebenarnya. Bukan BPS yang manipulative, tetapi pemerintah yang memanipulasinya” ujar Faisal di Jakarta kemarin.
Ia mengungkapkan, survey kemiskinan yang dilakukan BPS maret lalu, yang rencananya diumumkan juli mendatang juga sarat dengan campur tangan pemerintah.
“Padahal rata-rata jumlah penduduk miskin di tiap Propinsi mencapai 200 ribu. Paling tinggi di Jakarta” beber Faisal. Terkait ramalan BPS yang memperkirakan angka kemiskinan pada 2012 akan lebih tinggi daripada tahun ini dengan melambungnya tingkat inflasi, Faisal hanya mengingatkan BPS untuk tidak banyak bicara dan mengumbar data yang belum jelas.
“BPS itu kan Pusat Statistik, yang kerjanya mengukur, bukan interpretasi dan menganalisis. Jangan menciptakan ekspektasi inflasi sendiri, karena itu tugas BI. BPS ikut-ikutan menganalisis, belum tentu analisisnya benar. Makin enggak karu-karuan Negara ini” kritik Faisal.
Hal senada dikatakan pengamat ekonomi Ahmad Erani. Menurutnya pemerintah gagal mengurangi kemiskinan karena rakyat miskin tak pernah menjadi bagian dari rencana perekonomian. Rakyat miskin hanya menjadi bagian dari skema bantuan social.
“Program ekonomi kita memang orientasinya bukan rakyat miskin, tetapi pengusaha besar. Rakyat miskin hanya diurusi lewat bantuan-bantuan makanan yang instan” kata Erani kepada Rakyat merdeka.
Menurut dia pemerintah cenderung menyederhanakan masalah hanya pada penyelesaian kelaparan dalam waktu satu atau dua bulan. Padahal, persoalan kemiskinan merupakan hal yang kompleks, bukan semata menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga non ekonomi.
Menurutnya, dengan pemahaman sederhana, pemerintah jadi terfokus dengan kebijakan jangka pendek yang tak menyelesaikan masalah fundamental.
“Strategi pembangunan dan struktur ekonomi yang dimau pemerintah itu, sudah salah kaprah. Tidak ada keberpihakan terhadap sebagian besar masyarakat”sentil Erani.
Anggota komisi VIII DPR Jazuli Juwaini mengatakan, perlu langkah professional dan strategis untuk mengatasi kemiskinan. Menurutnya, ada beberapa hal yang selama ini menjadi kendala dalam penanganan kemiskinan.
Pertama, regulasi yang masih tumpang tindih. Regulasi terkait fakir miskin ada di-beberapa Undang-Undang (UU) dan Peraturan sehingga dibutuhkan satu UU sebagai payung hukum.
Kedua, masalah kelembagaan pengelola dan yang menanganinya. Selama ini permasalahan fakir miskin dikelola 19 kementerian dan lembaga. Hal ini sangat tidak efektif.
“banyaknya kementerian dan lembaga yang menangani masalah kemiskinan menyebabkan pemerintah terkesan lamban menyikapi itu. Terkadang ada ego sektoral yang menghambat koordinasi antar lembaga,” ucap Jazuli.(yan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar