Dalam situs http://www.lintasme/TPcbXwkZ, mafia, dirujuk sebagai La Cosa Nostra (bahasa Italia; Hal kami), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilian dan AS. Awalnya merupakan nama sebuah konfederasi yang orang-orangnya memasuki Sisilia pada abad pertengahan, untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim sendiri). Sisilia Cosa Nostra di AS, adalah grup relative baru dimulai dari pertengahan abad ke-19 di Italia. Mereka terlibat dalam perdagangan narkoba, senjata, bisnis perlindungan. Geng ini beranggotakan 3500 -4000 orang.
Rata-rata gerombolan mafia di dunia melakukan kejahatan jual beli narkoba, penyelundupan, pengelolaan judi, serta penculikan. Seperti mafia di mexiko yang mempunyai anggota sampai 30.000 di seluruh AS, 150 orang mempunyai wewenang untuk perintah membunuh, ditambah 2000 asosiasi yang juga menjalankan perintah ini, dan mereka memaksa dealer untuk membayar 'pajak perlindungan', kalau tidak mau dibunuh. Sama halnya dengan Jepang Yakuja, grup kejahatan ter-organisir yang ditemukan pada abad ke-17, mereka memiliki 110. 000 anggota aktif, dan sekitar 2500 keluarga. Terlibat dalam bisnis perlindungan, prostitusi, dan imigran illegal, impor pornografi uncensored dari eropa dan amerika.
Mafia Rusia berasal dari pecahan Negara Unisoviet, mempunyai pengaruh diseluruh dunia. Geng ini mempunyai anggota 100.000 – 500.000 orang. Kode etik yang harus dipatuhi adalah tutup mulut dan membunuh. Mereka ditakuti Karena terorisme, vandalism dan pembunuhan kontrak. Pertanyaan selanjutnya, apakah mafia di Indonesia sudah pernah dilahirkan? Atau seberapa jauh model mafia internasional sudah di adopsi dan diterapkan secara nyata? apakah dalam bentuk kekerasan dan pembunuhan, narkoba atau terorisme?
Yang dikenal selama ini pertama adalah, adanya grup mafia Berkeley dimana Partai Sosialis Indonesia(sosialis kanan), yang pernah dibubarkan oleh Presiden Soekarno, bersekongkol dengan CIA melakukan gerilya politik dan tindakan subversi menjatuhkan Presiden Soekarno, karena dianggap pro komunis.Kedua, Sejauh mana personifikasi Soemitrodjojo hadikusumo, Widjojo nitisastro, Emil Salim dll, menerapkan kapitalisme dan liberalism di Indonesia, dan mencekoki ilmu-ilmu liberal kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang disekolahkan ke Berkeley, Cornel,MIT yang ditengarai menjadi dapur CIA?Bukankah lembaga-lembaga donor untuk pendidikan semisal Ford Foundation dan Rocke Feller telah beroperasi begitu lama mencerdaskan mahasiswa dengan ilmu ekonominya justru untuk menguasai perekonomian nasional?
Yang ketiga adalah, fenomena Gayus tambunan dan Cirus Sinaga,dalam tataran pelaksanaan hukum di Indonesia.Kalau Gayus dianggap sebagai gembong mafia peradilan (yang dibongkar oleh Susno Duaji, yang dijuluki 'whistle blower'), maka Cirus dikenal sebagai 'markus' atau mafia kasus, dimana seorang jaksa terlibat merekayasa 'rencana tuntutan' seorang terpidana agar lepas dari jerat hukum, dan mendapatkan komisi, atau imbalan financial tertentu. Walaupun actor mafia peradilan belum terbongkar secara tuntas, akan tetapi secara umum sudah terdapat indicator persamaan, bahwa mafia internasional adalah gerombolan terorganisasi melawan Negara, yang melakukan pembunuhan dan kekejaman tanpa rasa kemanusiaan, demi memperkaya kartelnya. Sedangkan mafia hukum, per bankkan, pajak dll di Indonesia, adalah kumpulan 'gerombolan' krah putih yang melakukan konspirasi dan rekayasa hukum demi transaksi financial untuk kekayaan pribadi.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah komplotan kerah putih tersebut? Siapa gembongnya? Apakah mereka adalah oknum penegak hukum itu sendiri, ditambah dengan oknum pengacara hitam yang berdalih sebagai penjaga keadilan? Ataukah sang don corleone baru sudah lahir di Indonesia? Begitu lemahkah Negara menjadikan institusi penegak hukum(Polri,Kejaksaan,Pengadilan) sebagai 'island of integrity'
Guna memperkaya visi di dalam blog ini, saya tampilkan judul di atas yang ditulis oleh Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM, di harian kompas tanggal 13 januari, 2011. Semoga bermanfaat. (a.m.a)
Alat yang tertua dan terampuh yang dimiliki oleh kejahatan terorganisasi dalam melawan proses penuntutan criminal adalah membunuh para saksi yang bersaksi melawan mereka (Gerald Shur, A Fathers Dream Come True dalam WITSEC; Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS :ELSAM,2006). Hal ini dilakukan untuk melanggengkan kejahatannya terhadap setiap orang, terlebih para Alat yang tertua dan terampuh yang dimiliki oleh oleh kejahatan terorganisasi dalam Mafioso yang berkhianat dari anggota kelompok mafia. Oleh karena itu, setiap Mafioso yang tertangkap selalu mempertahankan omerta (hukum tutup mulut) untuk tidak memberikan informasi apa pun terkait La Cosa Nostra (nama sebenarnya dari organisasi mafia yang ber arti 'milik kami').
Pemberantasan terhadap mafia tidaklah mudah karena mereka memiliki akses pada lembaga-lembaga pemerintah, termasuk polisi, jaksa, dan hakim-hakim yang korup. Perlawanan terhadap omerta pertama kali dilakukan oleh Joe Valachi, seorang Mafioso yang tertangkap. Secara gamblang dia menceritakan organisasi La Cosa Nostra yang saat itu dipimpin oleh Vito Genovese. Sebagai imbalan, Negara mengubah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Valachi menjadi hukuman seumur hidup dan dia dipindahkan kesebuah pulau di Pasifik barat.
Demikian pula yang dilakukan Pascal Calabrese - - Mafioso yang mau bekerja sama dengan Negara - - terhadap organisasi mafia yang dikendalikan Stefano Magaddino. Dalam rangka melindungi Callabrese, Negara memalsukan identitasnya.
Nama Calabrese diganti menjadi Angelo dan meminta seorang pendeta di Buffalo untuk memberikan sertifikat baptis baru dengan nama palsu mereka dan membujuk seorang pemilik sekolah di Buffalo untuk mengganti nama akhir dari anak-anaknya di rapor sekolah menjadi Angelo. Departemen Kehakiman kemudian merelokasi Calabrese bersama keluarganya dari incaran pasca mafia. (ELSAM 2006, halaman xiv-xviii)
Praktik di Indonesia
Dalam konteks pemberantasan mafia hukum di Indonesia, ini bukan merupakan suatu hal yang mudah. Para Mafioso hukum sudah memasuki institusi Polri, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat, sampai pada politisi, parpol sampai pada pengusaha nakal. Kalau dinegara asalnya, para Mafioso yang memberikan informasi mengenai kejahatan yang dilakukan La Cosa Nostra dikejar dan dibunuh dalam pengertian yang sesungguhnya, maka lain halnya di Indonesia. Para Mafioso yang melawan omerta dan membuka kebobrokan institusinya yang korup, alih-alih mendapat perlindungan Negara,justru di incar dan dibunuh alias dibungkam dengan berbagai tuduhan kejahatan, baik yang dilakukan oleh nya maupun yang direkayasa.
Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa Endin Wahyudin, yang menelanjangi tiga hakim agung, yang menerima suap dan pelakunya adalah ia sendiri, harus mendekam dalam jeruji besi dengan pasal pencemaran nama baik, sementara ketiga hakim tersebut bebas berkeliaran tanpa rasa malu. Demikian juga yang diderita Komisaris jenderal Susno Duaji yang membuka aib institusinya dalam kasus mafia pajak. Saat ini Susno terpaku dikursi pesakitan sebagai terdakwa dengan tuduhan korupsi selama yang bersangkutan menjabat Kapolda Jawa barat. (Akhir maret 2011, diputuskan hukuman tiga setengah tahun penjara dan Susno langsung naik banding.)
Tidak kalah buruknya juga terjadi pada Gayus H.P Tambunan, Mafioso yang sepak terjangnya sangat luar biasa. Kendati telah memberikan semua informasi kepada Tim Independen Polri perihal kasus mafia pajak dan secara terang benderang Gayus telah bercerita di depan sidang pengadilan mengenai keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan kejaksaan dalam kasus tersebut, para penguasa kedua -institusi itu seolah buta dan tuli untuk tidak memproses anak nuahnya. Kalau dalam kisah di atas Negara memberikan identitas palsu, kepada Mafioso yang mau bekerja sama dalam rangka melindunginya, maka berbeda di Indonesia, Gayus mendapatkan identitas palsu - - yang sudah pasti melibatkan aparat – untuk mempertahankan praktik mafia hukum.
Disisi lain, instrument hokum kita tidak memadai untuk melindungi orang-orang seperti Endin, Susno, dan Gayus. Ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, pada hakikatnya menyatakan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hokum, baik pidana maupun perdata, atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Akan tetapi, ayat (2) undang-undang tersebut berbunyi, "seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapt dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan".
Ketentuan ayat (2) sebenarnya bersifat contra legem, dengan ayat (1) nya. Pada kenyataannya, ketentuan ayat (2) ini yang selalu dipakai aparat yang memproses para saksi kunci, sementara para pelaku kelas kakap tidak pernah tersentuh oleh hukum. Sayangnya ketika pasal 10 ayat (2) ini dimohonkan pengujiannya oleh Susno Duaji, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut.
Dimulai dari "kepala."
Lalu bagaimana untuk mengakhiri semua ini? Meminjam istilah Yang dikemukakan JE Sahetapy bahwa ikan yang busuk bukan berasal dari ekornya tetapi berawal dari kepala ikan, maka yang harus dibersihkan lebih dulu adalah para petinggi di Institusi penegak hukum. Presiden harus berani menon-aktifkan mereka yang terlibat dalam praktik mafia hukum dan mengusut tuntas semua kasus tersebut meskipun harus menyeret para perwira berbintang di tubuh Polri, para petinggi di Kejaksaan Agung, hakim-hakim korup termasuk advokat, politisi,dan pengsaha nakal.
Bukan saatnya lagi Presiden bersembunyi dibalik kata-kata "tidak mau melakukan intervensi hukum" untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pemberantasan mafia hukum. Bukankah Presiden adalahg atasan langsung Kapolri dan Jaksa Agung? Kalau Kapolri dan Jaksa Agung adalah para penegak hukum tertinggi di institusi masing-masing, maka Presiden sebagai kepala Negara adalah penegak hokum tertinggi di Indonesia. Sudah saatnya Presiden bertindak tegas dengan membuang segala kebimbangan untuk memproses para mafia hokum, kecuali kala pemberantasan mafia hukum yang sering kali dikemukakan oleh Presiden hanya suatu retorika belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar