Rabu, 15 Mei 2013

Pragmatisme Gembosi Pancasila (Demokrasi Abaikan Nilai dan Tujuan)


 

Sistem demokrasi langsung dan berbiaya tinggi semakin menyuburkan perilaku pragmatis dikalangan partai politik yang mengutamakan jalan pintas untuk kepentingan sendiri. Ini menggembosi nilai-nilai luhur Pancasila yang mengusung prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

    Penilaian itu diungkapkan pengajar fiksafar universitas Indonesia, Tommy F Awui. Dan pengajar Sosiologi Politik Universitas Gadjahmada, Arie Sudjito, secara terpisah di Jakarta, jumat. Kedua akademisi itu menilai Pancasila saat ini semakin diabaikan, terutama oleh elite politik pemegang kekuasaan. Secara formal lima prinsip dasar Negara itu masih disebut tetapi tidak melandasi setiap kebijakan.

    Tommy F Awuy mengatakan, demokrasi dengan system pemilihan langsung pada semua jenjang sekarang ini memicu politik berbiaya tinggi. Demi memenangi Pemilu atau Pilkada, partai harus mengeluarkan biaya besar untuk membuat program-program yang memikat masyarakat. Jika perlu partai tak segan menerapkan politik uang.

Partai sebagai pusat praktik politik menjadi sangat pragmatis. Kegiatan politik dijalankan dengan tujuan untuk menghidupi partai. Pada saat bersamaan, kapitalisme global semakin menjadikan semua hal diukur dengan logika pasar, material dan untung rugi. "perilaku prahmatis itu menggembosi nilai-nilai Pancasila yang menekankan sikap gotong royongm kemanusiaan , Ketuhanan ,Persatuan,Kerakyatan, Keadilan" katanya.

Bagi Ari Sudjito demokrasi saat ini digerakkan dengan logika yg terlalu procedural sehingga mengabaikan nilai dan tujuan demokrasi. Semua terjebak dalam pola pikir mau gampang saja, enggan berproses, nebgekoka perbedaan, dan bermusyawarah. Elite politik mengalami pendangkalan pikiran sehingga mengaburkan salah dan benar.

Jika dibiarkan, ikatan ke Indonesiaan bakal memudar. Secara administrative Indonesia masih ada dan punya batas-batas geografis. Namun secara ideologis bangsa ini terkoyak. Orang Jakarta, Papua, atau Aceh tidak lagi bersaudara.Lalu kelompok mayoritas mendominasi dan minoritas merasa ditekan. "Rakyat pun galau gampang marah, rakyat mengalami disorientasi karena kehilangan keteladanan dan rujukan: ujarnya.

Kondisi itu harus menjadi bahan refleksi dan evakuasi semua pihak. Elite politik harus mengurangi sikap pragmatis sekaligus menempa diri menjadi teladan. Presiden, menteri, legeslatif, dan yudikatif harus punya kesadaran untuk menggunakan wewenang sesuai Pancasila dan UUD 1945. Pada saat bersamaan rakyat didorong untuk mengembangkan nilai-nilai keIndonesiaan di lingkungan masing-masing. Pancasila perlu dibumikan dalam praktik sehari hari.

Tommy berharap bangsa Indonesia mengevaluasi system politik demokrasi yang liberal, langsung dan berbiaya mahal. Praktik demokrasi harus dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila yang ber-orientasi pada bangsa, rakyat, kemajuan bersama, kecerdasan, kehidupan, dan kesejahteraan umum.(IAM. Kompas 4 mei 2013)

Politisi pindah parpol;

@Hasan basri agus (Gubernur Jambi 2010-2015); Golkar ---àDemokrat (ketua DPD Jambi).

@Ilham Arief sirajuddin (walikota Makassar 2009-2014)Golkar--àDemokrat (ketua DPD Sulsel)

@Yuddy Chrisnandi (anggota DPR Golkar) Golkar --àHanura (ketua DPP)

@Zainul Majdi (gubernur NTB 2008-2013) PBB---àDemokrat (ketua DPD)

@Ahmad Syafii (bupati Pemekasan 2003-2008) PPP--àdemokrat (angg DPR 2009 -2014)

@Sinyo Harry sarundajang (gubernur Sulut 2005-2015) PDIP--àDemokrat (angg dewan Pembina)


 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar