Kalam;
Tuntutan internal setelah terjadinya krisis ekonomi pasca tumbangnya pemerintahan orde baru disusul krisis multi dimensi termasuk kebocoran RAPBN/RAPBD, korupsi dan abuse of power, menyebabkan Negara 'dipaksa' melakukan tranparansi, akuntabilitas dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan Negara.
Pada saat itu istilah good governance yang diartikan sebagai tata kelola kepemerintahan yang baik diperkenalkan terutama di dalam birokrasi pemerintahan. Semua dana-dana terpusat yang selama ini di laksanakan oleh Kementerian terkait, di serahkan pengelolaannya kepada daerah. Tentu perubahan kebijakan itu tidak disalah artikan sebagai usaha pemindahan kesempatan dan peluang melakukan korupsi oleh pejabat-pejabat atau birokrat di daerah-daerah.
Ada beberapa hal yang dilanggar oleh pemerintahan hasil reformasi sesuai dengan TAP NPR no. VIII/MPR/1998, penegakan hukum, ketertiban umum, dan perbaikan sikap mental.Tentang penegakan hukum, ternyata baik polisi, kejaksaan dan hakim masih banyak terlibat penyelewengan, dari perilaku korupsi sampai pengaturan tuntutan. Skandal hukum ini diatur secara sistemik dan dikenal sebagai mafia hukum.
Tentang hal perbaikan sikap mental yang mengacu kepada pembangunan insan yang ber-akhlakul karimah tiada lain berpatokan kepada moralitas Pancasila yang jiwai dan oleh sila pertama dan menjiwai sila selanjutnya secara organis dan bersifat hirarkis pyramidal. Sesuai dengan nilai intrinsic dan nilai instrumental nya maka Pancasila seharusnya menjadi 'way of life' bangsa. Tapi mengapa nilai-nilai Pancasila justru di lupakan oleh petinggi negeri?Bukankah sangat berbahaya apabila perjalanan suatu bangsa tidak berpedoman kepada ideology?
Tulisan Laksamana Sukardi selaku mantan Menteri BUMN di Kompas , senin 27 juni 2014, saya masukkan di dalam Blog ini, sebagai inspirasi baru bahwa sesungguhnya cita-cita good governance bukan hanya restorasi manajemen kepemerintahan ataupun reformasi birokrasi akan tetapi menyangkut perbaikan moral, etika dan tanggung jawab bernegara dan berbangsa untuk mensejahterakan masyarakat.(a.m.a)
Istilah good governance merupakan kosa kata yang sangat dikenal di Negara maju dan perusahaan besar dunia. Ini kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa cela. Terjemahan yang artinya paling mendekati adalah tata kelola yang baik.
Tata kelola yang baik merupakan produk masyarakat yang beradab, tetapi sangat asing bagi masyarakat yang belum beradab dan berpendidikan rendah. Negara yang tidak mengenal tata kelola yang baik ini umumnya masuk kategori Negara tertinggal.
Sangat lumrah jika kita tidak memiliki terjemahan yang pas karena praktik tersebut masih aneh di Indonesia. Seorang anggota DPR, dalam acara dengar pendapat dengan Menteri, bahkan dengan lantang mengatakan , "Saudara Menteri Saudara tidak mengenal prinsip good government."
Ini menggambarkan bahwa tata kelola yang baik masih asing dalam kehidupan ber-organisasi, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam sebuah system tata kelola yang baik, pengelolaan akan tertata sehingga memberikan hasil yang baik dan optimal, bukan sebaliknya. Bahkan lebih dari itu, tata kelola yang baik sebenarnya juga mencakup penyertaan moral moral dan niat baik kedalam system tata kelola, baik dalam organisasi perusahaan maupun lembaga Negara.
Dasar utama dari tata kelola yang baik adalah menaruh prioritas yang tinggi terhadap upaya melindungi kepentingan public atau pemangku kepentingan. Sama sekali tak memberikan ruang terhadap terjadinya benturan kepentingan. Untuk mencapai tujuan tersebut, selain pengelolaan yang harus transparan, juga perlu pemisahan tugas dan tanggung jawab. Jadi, ada fatsun yang melarang terjadinya perankapan jabatan dan tanggung jawab serta upaya pembuktiannya, yaitu larangan perangkapan jabatan antara pembuat kebijakan (regulator) dan pelaksana kebijakan (operator) serta pengawas pelaksanaan kebijakan (auditor).
Pada intinya, jika terjadi perangkapan jabatan antara regulator, operator, dan auditor, tidak ada jaminan kepetingan public akan terlindungi dan benturan kepentingan tumbuh subur. Dengan kata lain, praktek yang tidak memisahkan ketiga fungsi merupakan resep kehancuran.
Bisa dibayangkan juga kalau hakim, jaksa penuntut, serta penyidik berada dalam satu tangan. Maka yang akan terjadi adalah pengadilan yang jauh panggang dari api dan sama sekali tidak ada jaminan keadilan.
Fungsi di satu tangan
Dalam konteks ini, bagaimana dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia? Partai politik melalui fraksinya di DPR sebagai perpanjangan tangan , ternyata memegang hamper semua fungsi di satu tangan.
Misalnya dalam pembuatan aturan atau UU mengangkat pejabat pelaksana melalui proses uji kelayakan dan kepatutan, serta memilih hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), juga ketua dan anggota pengawasan kebijakan atau auditor seperti Badan Pemerksa Keuangan (BPK), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Komisi Yudisial, Komisi pemilihan Umum (KPU), dan Komisi pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Begitu pula Gubernur dan wakil Gubernur Bank Indonesia, bahkan Kapolri dan Panglima TNI. Semua tak lepas dari proses pemilihan oleh DPR.
Tidak hanya itu. Anggota DPR yang nota bene secara efektif berfungsi sebagai perpanjangan tangan partai politik juga menentukan anggaran untuk setiaporganisasi penyelenggara Negara, seperti diamanatkan oleh UUD '45. DPR juga memiliki tugas pengawasan melalui hak angket dan interpelasi serta pengawasan memalui mekanisme rapat dengar pendapat dengan para penyelenggara Negara.
Singkat kata. DPR (baca; partai politik) memegang semua fungsi kegiatan, yaitu menentukan anggaran, membuat aturan, mengangkat pejabat pelaksana dan pejabat pengawas, serta mengawasi pelaksanaannya. Sebuah ilustrasi kasat mata tentang resep kehancuran! Hanya ada satu hal yang tidak dilakukan DPR, yaitu mempertanggung jawabkan kinerjanya.
Kita bisa melihat bahwa banyak kepentingan saling berbenturan dan subur dalam system yang pengelolaannya tidak tertata baik atau bad governance. Hal yang tidak wajar telah berubah menjadi wajar ketika melihat mantan anggota DPR menjadi hakim MK, anggota BPK, bahkan anggota KPPU pindah menkadi anggota partai politik. Ibaratnya, wasit ganti seragam menjadi pemain.
Tidak hanya itu, ada juga anggota KPK yang langsung menjadi direksi BUMN saat pensiun, tanpa melalui tenggang waktu. Juga masih banyak anggota DPR yang aktif menjadi pengusaha.
Seperti diuraikan diatas, tata kelola yang baik tidak hanya wajib diterapkan , tetapi juga harus disertai kesadaran dan budaya niat baik. Tak kalah penting dan sulit diterapkan adalah mengikut sertakan system pembuktian bahwa tata kelola yang baik telah diterapkan, paling tidak telah diupayakan. Ini juga disebut kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi.
Contohnya, ada tanggung jawab moral untuk tak mengangkat saudara dalam jabatan penting dan ada tenggang waktu pejabat pengawas untuk tidak pindah jabatan atau menjadi pejabat pelaksana. Jangan sampai anggota KPU pindah ke partai politik yang mereka awasi dan anggota KPK menjadi direksi BUMN tanpa waktu jeda.
Kembali ke Etika
Kenyataan di atas sekilas tidak melanggar ketentuan apapun, tapi bergantung dengan kacamata apa kita melihatnya. Bangsa yang memiliki peradaban tinggi melihat hal tersebut tak etis dan melanggar prinsip tata kelola yang baik, tetapi bangsa yang tak beradab tak ada pelanggaran karena mereka nyatanya belum mengenalnya.
Saat ini sedang terjadi perdebatan di DPR mengenai rancangan undang-undang Pemilu. Ada upaya untuk memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota KPU dan beragam keinginan partai politik menjadikan undang-undang yang menguntungkan mereka.
Sekali lagi, upaya tersebut bisa menciptakan kondisi yang mengarah dicampakkannya para pemangku kepentingan, Namun begitu fungsi wasit, pemain, pembuat aturan, pemberi dana anggaran dan pengawas ada dalam satu genggaman, kita sedang berada di ambang kehancuran.
Di Thailand, ketika rakyat tidak memercayai hasil Pemilu, ditetapkan bahwa parlemen (baca; partai politik) tidak boleh terlibat dalam proses pembuatan Rancangan Undang-Undang Pemilu, kecuali mengesahkannya. Mereka membentuk dan menugaskan tim independen yang terdiri atas para akademisi dan tokoh masyarakat untuk membuatnya.
Singkat kata, tidak ada pemain membuat aturan sendiri dan wasit yang mendadak menjadi pemain, bahkan pengawas menjadi pelaksana objek yang diawasinya! Ini hanya bisa terjadi jika tidak ada lagi yang bertanya, "Apa itu good governance?" (LS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar