Jumat, 12 Februari 2010
Noktah Hitam Liberalisme
Dalam buku The Return of Depression Economic (1999), Paul Krugman, pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2008, meramalkan, suatu saat akan terjadi krisis akibat liberalisasi yang tidak terbatas. Dia berkata: the world economy has run out to be a much more dangerous place than we imaged.
Ramalan Krugman tampaknya terbukti. Banyak pengamat ekonomi memandang bahwa krisis ekonomi global , dewasa ini, menunjukkan betapa rapuhnya bangunan kapitalisme – liberalisme.
Menurut Kholid Syerazi (2008), krisis tersebut terjadi akibat kombinasi dari moral hazard dikalangan industry keuangan wall street serta sikap menutup mata otoritas pasar financial, moneter, dan pemerintah yang selama ini ‘diam-diam’ bermain api dengan para pialang saham.
Fenomena krisis global, dewasa ini, membuka kembali ingatan kita pada tragedy great depression pada 1930-an. Menurut John A Garraty (1987), masa tersebut merupakan tahun-tahun penting dalam sejarah, di mana Inggris dan Perancis, sebagai industry terbesar merasa terancam dengan adanya kekuatan industry baru, yaitu Jerman. Krisis great depression terjadi karena adanya perubahan standarisasi uang dan emas menjadi hanya uang kertas tanpa jaminan.
Ketika itu, teori liberalism klasik gagal menjelaskan mengapa semua teorinya tidak berjalan. Teori full employment tidak berjalan dan runtuh. Salah satu penyebabnya, para ekonom klasik menganggap fungsi uang hanya sebagai jendela transaksi. Pasca depresi hebat tersebut, system liberalism mendapat sorotan tajam. Selanjutnya, wacana Negara industry maju mulai ‘dikuasai’ wacana politik social democrat.
Argumen yang digemborkan adalah kesejahteraan setelah kapitalisme klasik dianggap tidak bisa bertahan, karena ternyata butuh peran dari Negara.
Bersamaan dengan itu, muncul teori john Maynard Keynes (resep Keynesian) yang menganggap bahwa peran Negara masih dianggap penting.
Kaum elite politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga negara. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapat pendidikan, mendapat pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas social lainnya.
Selanjutnya, Negara-negara yang terpengaruh gagasan Keynes membentuk welfare state di Eropah. Pada tahun 1970-an seiring dengan membubungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, deficit sector public dan krisis minyak, keynesianisme diserang sebagai biang keladi terjadinya krisis ekonomi.
Freidrich Von Hayek dan Milton Freidman adalah orang yang kembali menghidupkan ajaran-ajaran Adam Smith (1723 – 1790). Para pemikir Neolib tersebut menyatakan bahwa masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan merupakan masyarakat produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.
Dalam buku Republik yang menunggu (2008), dijelaskan, debut neo liberalism melejit karena ditopang oleh rezim Reagan di AS dan Tatcher di Inggris. Salah satu revolusi yang dilancarkan kedua kampiun neolin tersebut adalah liberalisasi pasar uang yang digalakkan sejak 1970-an.
Mereka ditopang oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World Bank, WTO, serta perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC’s). Sampai sekarang, pola neoliberal kemudian diikuti oleh banyak Negara.
Mengubah Paradigma
Sejarah bukan hanya catatan tanpa makna. Sejarah merupakan guru yang bijak, agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Apabila demikian, pelajaran apa yang dapat ditimba dari jatuh bangunnya system liberalism?
Indonesia harus berani melakukan perubahan paradigm tatakelola ekonomi. Sebab, selama ini, system liberal-kapitalis yang dianut terbukti tidak mampu menuntun kita pada cita-cita nasional.
Kapitalisme, menurut Omerod dalam buku the death of economics (1994), justeru telah melakukan “perampokan” terhadap kekayaan Negara-negara berkembang melalui system moneter fiat money.
Globalisasi
Gagasan perubahan paradigm tata kelola ekonomi tersebut sesungguhnya telah diusulkan oleh beberapa ilmuan. Misalnya, Joseph E Stigliz, pemegang hadiah Nobel Ekonomi pada 2001. Dalam bukunya Gobalizatian and descontents, ia menyatakan, Globalisasi sebagai anak kandung kapitalisme, ternyata tidak banyak membantu negara miskin. Akibat Globalisasi ternyata pendapatan masyarakat tidak meningkat di berbagai belahan dunia.
Hal senada ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku The Moral Dimension : Toward a New Economics (1988). Menurutnya, dunia saat ini, membutuhkan paradigm shift (pergeseran paradigm) demi menyelamatkan umat manusia dari bahaya kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta pengangguran.
Tegasnya, jatuh – bangun liberalism mengajarkan agar kita menjadi bangsa yang percaya diri dan mandiri. Kita harus percaya diri karena mempunyai modal sumber daya manusia yang handal dan modal kekayaan alam yang melimpah–ruah. Kemudian, kita harus mandiri agar tidak didikte lagi oleh kepentingan asing.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tidak ada pilihan lain, kecuali kita harus mendesain ekonomi nasional yang mengikuti kaidah-kaidah pro rakyat yang menitik beratkan pemerataan dan keadilan daripada pertumbuhan.
Dengan kata lain, saatnya kita kembali kepada ajaran Bung Karno, yaitu Trisakti (mandiri dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya). Mari kita tunggu hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dengan membawa visi–misi paradigm ekonomi kerakyatan.
Catatan; Dicopy paste dari tulisan Bambang W. Soeharto, Suara Pembaruan on line, tgl 17/11/2008; penulis adalah Doktor Ilmu Politik UGM , Pimpinan Harian Dewan Koperasi Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Partai Hanura, dan Kosgoro.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar