Pembahasan ekonomi neoliberal atau yang lebih kita kenal dengan sebutan neolib akhir akhir ini marak. Hal ini terkait dengan isu salah satu cawapres yang ditengarai berasal dari kaum neolib, yang konon mereka adalah gemblengan AS sehingga hal tersebut oleh lawan politik dijadikan sebagai senjata, untuk menyerang hingga timbul istilah "ekonomi kerakyatan". Tentu saja hal ini dibantah oleh peserta pilpres incumbent bahwa indonesia tidak menganut faham neolib atau washington consensus.
Negara ini bukan negara sekuler, bukan negara sosialis juga bukan negara islam. Pada zaman Orba, negara kita bukan penganut sistem demokrasi liberal, bukan pula diktator. Sistem republik kita juga bukan presidensial murni, bukan pula parlementer. Demikian pula dengan sistem prekonomian, bukan ekonomi liberal, kapitalis atau ekonomi islam. Bisa saja pemimpin-pemimpin bangsa ini membantah, tetapi kenyataan dilapangan berkata lain. Ambil satu contoh, para pemilik modal (kapital) begitu mudah mendirikan bangunan-bangunan megah (seperti supermarket-supermarket), padahal masih banyak bangunan-bangunan serupa yang sudah didirikan, tetapi akhirnya banyak yang terbengkalai.
Sementara disisi lain, rakyat miskin semakin sulit urntuk mendapatkan tempat tinggal, dan akhirnya mereka rela tinggal di tempat-tempat berbahaya. Demikian juga pemerintah, tidak peduli terhadap kenaikan BBM. Padahal, Indonesia adealah negara yang kaya minyak, tetapi untuk mendapatkannya harus ditebus dengan harga yang sangat mahal, bahkan seringkali langka. Hal ini setelah ditelusuri, ternyata sumber daya alam banyak yang dijual/diprivatisasi negara kepada pihak para pemilik modal (kapitalis) atau bahkan kepada pihak asing.
Ditilik dari contoh-contoh tersebut, tidak cukup bukti bahwa indonesia menganut sistem kapitalisme-sekulerisme, yang mengharuskan pemerintah tidak ikut campur tangan dalam urusan ekonomi, yang artinya membiarkan pasar yang menentukan. Apakah kita masih percaya dengan sistem ini? Apapun namanya ketika asasnya sekuler kapitalis,tidak akan pernah menyejahterakan rakyat. Saatnya kita ucapkan selamat tinggal kapitalisme.
dikutip dari: Ratna Tri, Harian Kompas-surat pembaca tgl 26 juli 2009. Jakarta.
Negara ini bukan negara sekuler, bukan negara sosialis juga bukan negara islam. Pada zaman Orba, negara kita bukan penganut sistem demokrasi liberal, bukan pula diktator. Sistem republik kita juga bukan presidensial murni, bukan pula parlementer. Demikian pula dengan sistem prekonomian, bukan ekonomi liberal, kapitalis atau ekonomi islam. Bisa saja pemimpin-pemimpin bangsa ini membantah, tetapi kenyataan dilapangan berkata lain. Ambil satu contoh, para pemilik modal (kapital) begitu mudah mendirikan bangunan-bangunan megah (seperti supermarket-supermarket), padahal masih banyak bangunan-bangunan serupa yang sudah didirikan, tetapi akhirnya banyak yang terbengkalai.
Sementara disisi lain, rakyat miskin semakin sulit urntuk mendapatkan tempat tinggal, dan akhirnya mereka rela tinggal di tempat-tempat berbahaya. Demikian juga pemerintah, tidak peduli terhadap kenaikan BBM. Padahal, Indonesia adealah negara yang kaya minyak, tetapi untuk mendapatkannya harus ditebus dengan harga yang sangat mahal, bahkan seringkali langka. Hal ini setelah ditelusuri, ternyata sumber daya alam banyak yang dijual/diprivatisasi negara kepada pihak para pemilik modal (kapitalis) atau bahkan kepada pihak asing.
Ditilik dari contoh-contoh tersebut, tidak cukup bukti bahwa indonesia menganut sistem kapitalisme-sekulerisme, yang mengharuskan pemerintah tidak ikut campur tangan dalam urusan ekonomi, yang artinya membiarkan pasar yang menentukan. Apakah kita masih percaya dengan sistem ini? Apapun namanya ketika asasnya sekuler kapitalis,tidak akan pernah menyejahterakan rakyat. Saatnya kita ucapkan selamat tinggal kapitalisme.
dikutip dari: Ratna Tri, Harian Kompas-surat pembaca tgl 26 juli 2009. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar